Jumat, 14 Februari 2014

Unknown Bohemian [Part III]


Unknown Bohemian—Part 3

Fanfiction by Jiyeonichi29 (@Alvia Rachmanda)

Genre: Fantasy, Romance, Family, campur-campur :D

Rating: 15

Main Cast: Huang Zi You (as you), Huang Zitao (EXO-M), Wuyifan/ Kris (EXO-M), Do Hana (OC)

___

Normal POV
Lamborghini Kris datang menepi dan berhenti di pinggir lapangan golf keluarga Huang yang luasnya berhektar-hektar. Ia dan Hana turun, menyapu seluruh pemandangan di depan mereka untuk memastikan kalau si pemilik lapangan juga berada di sana.
“Awaaasss!”
Peringatan terlambat yang dideklarasikan You tepat setelah bola golf yang dipukulnya tak sengaja menghantam Hana. Gadis itu tumbang seraya memegangi dahinya yang dirasa langsung memar.
“Kau tak apa?”
Kris membantunya berdiri. Kaget juga melihat bola golf tiba-tiba melayang dari jarak sejauh itu.
Unnie, kau baik-baik saja? Maaf! A-aku tak sengaja.” sesal You. Kris semakin kaget lantaran You sudah berada di dekat mereka.
I’m fine.” senyum Hana.
Di belakang, Sehun dan Kai lari terengah-engah. “Noona, dahimu!” tunjuk Kai panik.
Beruntung Tao segera menyusul membawa kotak P3K. Tanpa menunggu komando siapapun dengan cekatan Kai mengobati memar Hana. Tak kurang dari lima belas menit dahi Hana sudah berbalut perban.
“Kau tak perlu sampai memerban kepalaku begini.” protes Hana. “Bagaimanapun juga, terimakasih.”
Noona, lain kali kau harus lebih hati-hati.” nasihat Kai.
“Aku tahu. Unnie, sekali lagi aku minta maaf~” You tertunduk bersalah.
“Tak apa. Ini hanya kecelakaan kecil, kok!” Hana tersenyum semanis mungkin, membuat Kai semakin tak dapat melepaskan perhatian darinya.
Sehun mengambil giliran pertama untuk bermain. Jarak pukulannya kelebihan beberapa yard dari hole. Meski begitu, ia sudah senang tak karuan sampai perlu berjoget ria di tengah lapangan. Maklum saja, dulu Sehun seorang lead dancer di sekolah. Selanjutnya giliran Tao.
You menunggu gilirannya sambil mencuri-curi pandang ke arah Kris. Sesuatu yang sama lagi-lagi terjadi. Kali ini, jantungnya yang meletup-letup seperti gunung hendak meletus. Saat ini posisinya dan Kris hanya berjarak seorang Hana, tapi bukan berarti ia bisa puas mengekspos pemandangan menyenangkan itu meski ia—sangat—mau.
Apalagi, saat Hana melenyapkan batas antara ia dan pemuda jangkung itu.
DEG! Aroma thyme menyeruak dalam ke indra penciumannya. Kris menoleh, memperlihatkan proporsi wajah menawannya secara sempurna. Mata You membulat ketika Kris memergoki tengah memperhatikannya.
‘Sial!’
What’s wrong?” tanya Kris dengan logat Vancouver yang sangat kental. Benar-benar memanipulasi bila ia seorang Mandarin.
‘Sial! Sial! Aku harus merespon apa?' batin You, masih terpaku di tempat.
“A-aku...”
“Hoi, You! Giliranmu!” pekik Tao dari jauh. Setengah kikuk, You mengalihkan pandangnya dari Kris.
Ia bersyukur dalam hati. Panggilan Tao kali ini benar-benar menyelamatkannya. Jika saja tidak, mungkin ia akan berakhir seperti mammoth yang membeku dalam bongkahan es.
“Aku datang~!”

*

Luhan’s POV
Benda putih itu menggelinding dan berhenti tepat di kakiku. Aku meraih lalu mengendusnya, merasa sangat familiar dengan aromanya. Dan benar saja, ketika aku mencapai puncak pohon dari kejauhan kulihat beberapa manusia sedang bermain. Salah satunya, vampire.
Gadis yang menjadi alasan tentang keberadaanku di sini—Seoul—berjalan (atau berlari?) mencari bola yang sukses dihilangkannya.
“Mencari ini?”
Seketika iris mata gadis itu berubah warna. Setelah melihatku, warna matanya kembali seperti manusia normal.
“Luhan, kenapa kau di sini?”
Aku melempar bola itu padanya. “Ibumu mengirimku kemari untuk mengawasimu.”
“Yang benar saja! Aku bukan anak-anak lagi. Kau pulang saja sana sebelum ‘keluargaku’ melihatmu!”
Ck, gadis ini ==’ dia mirip sekali dengan ibunya yang gemar menyuruh-nyuruh orang. “Mulai saat ini aku juga akan tinggal di Seoul. Tenang saja, aku tak akan mengusik kebersamaanmu dengan manusia-manusia itu. Lagian aku punya misi lain kok!”
“Misi? Misi apa?”
Noona, kenapa lama seka—”
Suara manusia itu tercekat waktu melihatku. Dia memandang You dan aku bergantian.

*

Tao’s POV
Dia itu mengambil bola di Antartika ya? Atau sudah tenggelam duluan di samudra Arktik? Sudah hampir seabad kami menungguinya. Lagipula ini salah couple konyol itu, mau main golf tapi stock bolanya ditinggal. Beruntung kami menemukan satu bola di tas peralatan.
Akhirnya, tubuh gadis yang terpaksa kuakui sebagai ‘adik’ itu menyembul bersama namja berkulit eksotis di sampingnya. Tunggu, siapa pria yang bersama mereka?
“Kenalkan, dia sepupuku dari Forks. Dia juga ABC (American Born Chinese) dan dulunya pernah menetap di Seoul. Alumni SKY. Panggil saja Luhan.”
Aku menatapnya dari ujung rambut hingga kaki. Sama sekali tak mirip You. Hanya kulit pucatnya saja yang mengingatkanku pada yeoja itu. But, SKY? Wah, hebat! Tapi kenapa sepupunya justru begitu lamban dan bodoh?
Annyeong, Xi Luhan imnida.” Ia membungkuk, menyapa kami semua dengan bahasa Korea yang sangat fasih. Hmm, satu lagi keturunan Chinese di kelompok kami.

**

Flash of memories.
Aku merenung, menatap titik-titik air yang jatuh di hadapanku. Kutengadahkan tangan, membiarkan cairan bening itu mengaliri sela-sela jariku. Hujan masih terlalu deras sementara aku tak membawa payung.
Oppa!”
Suara itu, kelewat familiar untukku. Bagaimana tidak? Setiap hari, setiap jam, setiap menit atau mungkin setiap detik aku selalu bersama pemiliknya. Seperti sekarang, terjebak hujanpun harus bersamanya. Seolah dia lahir di dunia ini hanya untuk mengikuti dan memberisiki hidupku seorang. Andai saja ada hari dimana aku bisa terbebas darinya. Bahkan walau hanya sehari saja!
“Hmm?” responku malas.
“Ayo pulang! Perutku sudah keroncongan.”
“Kau tak lihat masih hujan?”
“Tapi aku lapar. Kita pulang hujan-hujanan saja, bagaimana?”
Aku langsung berdiri dan berbalik menghadapnya. Gadis berkepang satu yang mengenakan seragam sama denganku itu bersandar malas pada dinding pabrik bekas yang menjadi tempat kami berteduh setelah hujan tiba-tiba turun saat kami tengah mengayuh sepeda pulang.
“Dan membiarkan kau demam lantas ibu akan memarahiku habis-habisan? Jangan harap!” tukasku.
“Berarti kau lebih memilih ibu menguburmu hidup-hidup karena telah membiarkan adikmu mati kelaparan?”
“Ya ampun, kau tak akan mati hanya karena melewatkan makan siang!”
“Tapi aku lapar! LAPAR! L-A-P-A-R, AKU LAP—”
Cepat-cepat aku membekap mulut bocah itu meski telapak tangan yang sama masih berbalut perban akibat digigit olehnya kurang lebih seminggu lalu. Waktu itu aku melakukan hal serupa karena ia ingin mengadukan ‘sesuatu’ pada ibu, tapi dia malah menggigit tanganku sampai berdarah. Dan sekarang aku mengulanginya bukan karena tertantang untuk digigit lagi, tapi karena aku tak betah bila harus mendengar teriakannya yang bak bunyi petasan meletup-letup di panci           !
“Kita akan makan, okay? Tapi setelah hujannya reda.”
“%$#*&!??”
“Apa? Aku tak bisa mendengarmu!”
“Bagaimana kau bisa mendengar jika kau membekapku? Bodoh!” cercanya setelah menggigit—kali ini jempolku.
“Kau itu manusia atau vampire heh? Kenapa hobimu menggigiti orang!!??”
You hanya mendengus dan berjalan ke tepi pabrik, kepalanya mendongak memandang hujan. Ditengadahkan tangannya sehingga air itu penuh menggenangi, lalu tiba-tiba...
Yaak!!
Ia tertawa renyah setelah sukses membasahi mukaku dengan air yang baru ditampungnya. Oh, jadi kau ingin main ciprat-cipratan denganku? Baiklah, oppa-mu yang tampan dan baik hati ini akan dengan senang hati meladeni!
Lima belas menit kami habiskan dengan menyirami satu sama lain memanfaatkan air yang turun cuma-cuma dari langit. Permainan yang seharusnya mengasyikkan bila kumainkan dengan anak-anak normal itu berakhir saat kusadar kalau tubuhku sudah basah kuyup akibat diguyur habis-habisan oleh You, bocah yang baru kuingat kalau dia itu abnormal.
Oh, mom will kill us!!” jeritku pasrah membayangkan reaksi ibu ketika kami sampai rumah. Seragam You juga tak kalah basah dari punyaku. Melihat kami begini tentu saja ibu akan langsung menuduh kami hujan-hujanan.
“Ya sudah, kita pulang saja!” ajakku akhirnya.
“Tapi kan masih hujan?”
“Apa bedanya? Toh kita juga sudah basah! Memang kau mau menunggu hujan reda dengan pakaian begitu? Yang ada kau justru masuk angin!”
You pun mengikuti instruksiku untuk pulang bersepeda. Jalan yang kami lewati sudah cukup ekstrem tanpa perlu diguyur hujan. Dan kini, hujan membuat pematang sawah yang menjadi jalur alternatif kami untuk pergi-pulang sekolah itu makin licin hingga kami harus ekstra hati-hati.
Brukk!!!
Aku berhenti mengayuh dan menengok ke belakang. You jatuh tersungkur bersama sepedanya ke sepetak sawah yang entah milik siapa. Aku buru-buru menolongnya.
Gwenchana?” tanyaku panik. Tambah panik lagi begitu melihat lututnya berdarah akibat tergores pedal sepeda.
“Kakiku sakit sekali oppa! Eh, apa ini?” You kaget menemukan darah mengalir dari lututnya. Ia menyentuh cairan pekat itu menggunakan jari dan terkesan. Entah terkesan karena baru pertama kali melihat darah—tak mungkin—atau karena ini kali pertamanya mendapat luka.
Tanpa pikir panjang langsung saja kusobek lengan seragamku dan menggunakannya untuk menutup luka You. Setelah itu, aku menggendongnya pulang dan meninggalkan sepeda kami begitu saja. Yah, mau bagaimana lagi? Tak mungkin aku membiarkan You mengendarai sepeda lagi dan tersungkur untuk kedua kali, atau tak mungkin juga memboncengnya karena baik sepedaku maupun sepedanya tak punya tempat duduk ganda.
Oppa, tidak apa-apa kau membawaku sampai rumah? Memang aku tak berat, ya?”
“Tentu saja berat! Apa yang kau makan sih? Tubuhmu saja kecil tapi beratmu luar biasa” ketusku.
Yak! Kenapa bicara begitu?” You memukul kepalaku. Dasar anak ini, kutinggalkan dia sendirian baru tahu rasa ==’ “Aku kan juga wanita, dan wanita itu sangat sensitif, tahu! Seharusnya kau berbohong saja dengan mengatakan tidak apa, kau sama sekali tak berat kok atau ini sudah menjadi tugasku, mengapa aku harus keberatan bukannya bicara blak-blakan begitu!”
“Dasar. Kau fikir mudah menggendong orang sambil kehujanan begini?”
“Tentu saja, kau kan Master Kungfu!”
“CK. Tunggu sampai aku yang jatuh dan giliranmu membopongku.”
“Hmm, kurasa aku hanya akan menertawaimu dan meninggalkanmu saja. HAHAHA!”
“Ya sudah, jika begitu kau tak keberatan kalau kuturunkan di tengah jalan sekarang?”
“Eh yang benar saja! Masa kau tega melihatku pulang tertatih-tatih tak berdaya? Mana rasa kemanusiaanmu terlebih sebagai oppa-ku?” You langsung berontak.
Giliranku yang terkekeh jahil. “Makanya, jangan asal kalau bicara-”
Langkahku terhenti begitu kami tiba di pangkal jalan raya. Sebuah van hitam menampakkan wujud wanita paruh baya yang tak asing lagi. Meng Jia, ibu kami. Ibu keluar memanggil nama You sambil berurai air mata. You turun dari punggungku dan ibu langsung mendekapnya. Pria berjas yang duduk di sampingnya tadi, Tony Huang—ayahku—ikut keluar memayungi keduanya. Dia menatapku nanar dengan raut wajah berduka.
Aku yang melihat pemandangan itu hanya bisa menerka-nerka apa yang sekiranya sedang terjadi. Apakah ibu mencemaskan You yang tak kunjung pulang? Tapi mengapa sampai berlebihan begitu, bahkan ikut membawa-bawa ayah yang harusnya masih berada di perusahaan saat ini?
Dan tahulah aku yang sebenarnya terjadi saat kami tiba di rumah. Persoalan orang dewasa yang begitu rumit bagi bocah ingusan yang masih duduk di bangku SMP sepertiku. Yang benar-benar kupahami hanyalah:
You pergi meninggalkan keluarga Huang untuk waktu yang sangat lama bersama sepasang pria dan wanita tak dikenal.
Oppaaa!
Kulihat wajah sendu You yang banjir air mata dari kaca belakang mobil. Aku lari menerobos hujan untuk mengejar mereka—mengejar You, adikku satu-satunya.
“You! Huang Zi You!!!”
Namun, apa daya tubuhku yang kecil ini tak akan mampu mengejar sedan yang ‘menculik’ adikku itu. Merengek pada ayah ibu pun percuma, mereka hanya bisa meratapi kepergian You.
You, gadis itu. Aku tak percaya dia tak lagi menjadi bagian dari Huang family. Ternyata aku salah memunajatkan doa. Yang kuingini bukanlah dia pergi dan menghilang dari hidupku selamanya. Bukan begitu! Bukan seperti itu, You!
Kumohon, jangan pergi.
Jangan menciptakan keheningan dengan berhenti meracau di sisiku.
Jangan pergi.
Kembalilah dan repoti aku dengan segala permintaan absurdmu.
Jangan pergi.
Aku bilang jangan, Huang Zi You!!!
.

.

.
Andwae!!”
Kutemukan diri terduduk di atas bed dengan peluh membasahi. Oh sial, lagi-lagi mimpi itu. Kenapa kenangan itu masih terus saja menghantuiku? Kuacak rambutku. Weker di samping menunjukan pukul 7:15. Segera kubangkit untuk membersihkan diri.
“Tao, mana adikmu?” suara ibu menyapa lembut gendang telingaku ketika aku turun ke ruang makan.
“Mungkin dia masih molor.” jawabku asal setelah mencomot waffle cokelat di piring. Wait, memangnya anak itu tidur? “Akan kupanggil dia untuk sarapan.”
Aku bergegas naik ke lantai dua, ke kamar You. Clek! “You-ya—”
Oppa!!!”
Buru-buru kututup kembali pintu kamarnya setelah dia mengotori mata polosku ini *lie* dengan pemandangan vulgar di dalam sana. Seharusnya dia mengunci pintu atau memasang peringatan jika sedang berpakaian seperti tadi. Dasar ceroboh.
“Ada apa?” mukanya menyapaku dengan ekspresi datar setelah membuka pintu.
“Berapa kali kubilang untuk mengunci pintu kalau sedang ganti baju!? Kau itu perempuan! Seandainya yang masuk tadi orang lain bagaimana?! Kau mau tubuhmu dilihat oleh orang yang tak pantas mendapatnya??” gerutuku.
“Ck. Kau yang salah tidak mengetuk dulu. Menyeleweng masuk seenaknya, jangan-jangan malam pun begitu?” tuduh You.
“Enak saja! Untuk apa aku melakukannya?”
Who knows?
Aku bergemeletuk. “Jangan ulangi lagi. Sebagai wanita kau harus jaga kehormatanmu.”
“Heh~Iyakan saja. Aku tahu dalam hati kau bersyukur.” gumam You tak jelas.
“Aku dengar kau bilang apa. Kau fikir aku pervert, begitu?!” kucubit pipi chubby-nya sampai ia meronta kesakitan. ‘Penyiksaan’ itu baru berhenti kulakukan setelah pesan masuk dari Kai.
Hyung, kami sudah di SM.
Tak lama kemudian kuketik balasan, ‘We’ll be there soon.
“Cepat, Kai dan lainnya sudah menunggu. Kau ikut tidak?”
“Ikut? Kemana?”

**

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar