Jumat, 14 Februari 2014

Unknown Bohemian [Part III]


Unknown Bohemian—Part 3

Fanfiction by Jiyeonichi29 (@Alvia Rachmanda)

Genre: Fantasy, Romance, Family, campur-campur :D

Rating: 15

Main Cast: Huang Zi You (as you), Huang Zitao (EXO-M), Wuyifan/ Kris (EXO-M), Do Hana (OC)

___

Normal POV
Lamborghini Kris datang menepi dan berhenti di pinggir lapangan golf keluarga Huang yang luasnya berhektar-hektar. Ia dan Hana turun, menyapu seluruh pemandangan di depan mereka untuk memastikan kalau si pemilik lapangan juga berada di sana.
“Awaaasss!”
Peringatan terlambat yang dideklarasikan You tepat setelah bola golf yang dipukulnya tak sengaja menghantam Hana. Gadis itu tumbang seraya memegangi dahinya yang dirasa langsung memar.
“Kau tak apa?”
Kris membantunya berdiri. Kaget juga melihat bola golf tiba-tiba melayang dari jarak sejauh itu.
Unnie, kau baik-baik saja? Maaf! A-aku tak sengaja.” sesal You. Kris semakin kaget lantaran You sudah berada di dekat mereka.
I’m fine.” senyum Hana.
Di belakang, Sehun dan Kai lari terengah-engah. “Noona, dahimu!” tunjuk Kai panik.
Beruntung Tao segera menyusul membawa kotak P3K. Tanpa menunggu komando siapapun dengan cekatan Kai mengobati memar Hana. Tak kurang dari lima belas menit dahi Hana sudah berbalut perban.
“Kau tak perlu sampai memerban kepalaku begini.” protes Hana. “Bagaimanapun juga, terimakasih.”
Noona, lain kali kau harus lebih hati-hati.” nasihat Kai.
“Aku tahu. Unnie, sekali lagi aku minta maaf~” You tertunduk bersalah.
“Tak apa. Ini hanya kecelakaan kecil, kok!” Hana tersenyum semanis mungkin, membuat Kai semakin tak dapat melepaskan perhatian darinya.
Sehun mengambil giliran pertama untuk bermain. Jarak pukulannya kelebihan beberapa yard dari hole. Meski begitu, ia sudah senang tak karuan sampai perlu berjoget ria di tengah lapangan. Maklum saja, dulu Sehun seorang lead dancer di sekolah. Selanjutnya giliran Tao.
You menunggu gilirannya sambil mencuri-curi pandang ke arah Kris. Sesuatu yang sama lagi-lagi terjadi. Kali ini, jantungnya yang meletup-letup seperti gunung hendak meletus. Saat ini posisinya dan Kris hanya berjarak seorang Hana, tapi bukan berarti ia bisa puas mengekspos pemandangan menyenangkan itu meski ia—sangat—mau.
Apalagi, saat Hana melenyapkan batas antara ia dan pemuda jangkung itu.
DEG! Aroma thyme menyeruak dalam ke indra penciumannya. Kris menoleh, memperlihatkan proporsi wajah menawannya secara sempurna. Mata You membulat ketika Kris memergoki tengah memperhatikannya.
‘Sial!’
What’s wrong?” tanya Kris dengan logat Vancouver yang sangat kental. Benar-benar memanipulasi bila ia seorang Mandarin.
‘Sial! Sial! Aku harus merespon apa?' batin You, masih terpaku di tempat.
“A-aku...”
“Hoi, You! Giliranmu!” pekik Tao dari jauh. Setengah kikuk, You mengalihkan pandangnya dari Kris.
Ia bersyukur dalam hati. Panggilan Tao kali ini benar-benar menyelamatkannya. Jika saja tidak, mungkin ia akan berakhir seperti mammoth yang membeku dalam bongkahan es.
“Aku datang~!”

*

Luhan’s POV
Benda putih itu menggelinding dan berhenti tepat di kakiku. Aku meraih lalu mengendusnya, merasa sangat familiar dengan aromanya. Dan benar saja, ketika aku mencapai puncak pohon dari kejauhan kulihat beberapa manusia sedang bermain. Salah satunya, vampire.
Gadis yang menjadi alasan tentang keberadaanku di sini—Seoul—berjalan (atau berlari?) mencari bola yang sukses dihilangkannya.
“Mencari ini?”
Seketika iris mata gadis itu berubah warna. Setelah melihatku, warna matanya kembali seperti manusia normal.
“Luhan, kenapa kau di sini?”
Aku melempar bola itu padanya. “Ibumu mengirimku kemari untuk mengawasimu.”
“Yang benar saja! Aku bukan anak-anak lagi. Kau pulang saja sana sebelum ‘keluargaku’ melihatmu!”
Ck, gadis ini ==’ dia mirip sekali dengan ibunya yang gemar menyuruh-nyuruh orang. “Mulai saat ini aku juga akan tinggal di Seoul. Tenang saja, aku tak akan mengusik kebersamaanmu dengan manusia-manusia itu. Lagian aku punya misi lain kok!”
“Misi? Misi apa?”
Noona, kenapa lama seka—”
Suara manusia itu tercekat waktu melihatku. Dia memandang You dan aku bergantian.

*

Tao’s POV
Dia itu mengambil bola di Antartika ya? Atau sudah tenggelam duluan di samudra Arktik? Sudah hampir seabad kami menungguinya. Lagipula ini salah couple konyol itu, mau main golf tapi stock bolanya ditinggal. Beruntung kami menemukan satu bola di tas peralatan.
Akhirnya, tubuh gadis yang terpaksa kuakui sebagai ‘adik’ itu menyembul bersama namja berkulit eksotis di sampingnya. Tunggu, siapa pria yang bersama mereka?
“Kenalkan, dia sepupuku dari Forks. Dia juga ABC (American Born Chinese) dan dulunya pernah menetap di Seoul. Alumni SKY. Panggil saja Luhan.”
Aku menatapnya dari ujung rambut hingga kaki. Sama sekali tak mirip You. Hanya kulit pucatnya saja yang mengingatkanku pada yeoja itu. But, SKY? Wah, hebat! Tapi kenapa sepupunya justru begitu lamban dan bodoh?
Annyeong, Xi Luhan imnida.” Ia membungkuk, menyapa kami semua dengan bahasa Korea yang sangat fasih. Hmm, satu lagi keturunan Chinese di kelompok kami.

**

Flash of memories.
Aku merenung, menatap titik-titik air yang jatuh di hadapanku. Kutengadahkan tangan, membiarkan cairan bening itu mengaliri sela-sela jariku. Hujan masih terlalu deras sementara aku tak membawa payung.
Oppa!”
Suara itu, kelewat familiar untukku. Bagaimana tidak? Setiap hari, setiap jam, setiap menit atau mungkin setiap detik aku selalu bersama pemiliknya. Seperti sekarang, terjebak hujanpun harus bersamanya. Seolah dia lahir di dunia ini hanya untuk mengikuti dan memberisiki hidupku seorang. Andai saja ada hari dimana aku bisa terbebas darinya. Bahkan walau hanya sehari saja!
“Hmm?” responku malas.
“Ayo pulang! Perutku sudah keroncongan.”
“Kau tak lihat masih hujan?”
“Tapi aku lapar. Kita pulang hujan-hujanan saja, bagaimana?”
Aku langsung berdiri dan berbalik menghadapnya. Gadis berkepang satu yang mengenakan seragam sama denganku itu bersandar malas pada dinding pabrik bekas yang menjadi tempat kami berteduh setelah hujan tiba-tiba turun saat kami tengah mengayuh sepeda pulang.
“Dan membiarkan kau demam lantas ibu akan memarahiku habis-habisan? Jangan harap!” tukasku.
“Berarti kau lebih memilih ibu menguburmu hidup-hidup karena telah membiarkan adikmu mati kelaparan?”
“Ya ampun, kau tak akan mati hanya karena melewatkan makan siang!”
“Tapi aku lapar! LAPAR! L-A-P-A-R, AKU LAP—”
Cepat-cepat aku membekap mulut bocah itu meski telapak tangan yang sama masih berbalut perban akibat digigit olehnya kurang lebih seminggu lalu. Waktu itu aku melakukan hal serupa karena ia ingin mengadukan ‘sesuatu’ pada ibu, tapi dia malah menggigit tanganku sampai berdarah. Dan sekarang aku mengulanginya bukan karena tertantang untuk digigit lagi, tapi karena aku tak betah bila harus mendengar teriakannya yang bak bunyi petasan meletup-letup di panci           !
“Kita akan makan, okay? Tapi setelah hujannya reda.”
“%$#*&!??”
“Apa? Aku tak bisa mendengarmu!”
“Bagaimana kau bisa mendengar jika kau membekapku? Bodoh!” cercanya setelah menggigit—kali ini jempolku.
“Kau itu manusia atau vampire heh? Kenapa hobimu menggigiti orang!!??”
You hanya mendengus dan berjalan ke tepi pabrik, kepalanya mendongak memandang hujan. Ditengadahkan tangannya sehingga air itu penuh menggenangi, lalu tiba-tiba...
Yaak!!
Ia tertawa renyah setelah sukses membasahi mukaku dengan air yang baru ditampungnya. Oh, jadi kau ingin main ciprat-cipratan denganku? Baiklah, oppa-mu yang tampan dan baik hati ini akan dengan senang hati meladeni!
Lima belas menit kami habiskan dengan menyirami satu sama lain memanfaatkan air yang turun cuma-cuma dari langit. Permainan yang seharusnya mengasyikkan bila kumainkan dengan anak-anak normal itu berakhir saat kusadar kalau tubuhku sudah basah kuyup akibat diguyur habis-habisan oleh You, bocah yang baru kuingat kalau dia itu abnormal.
Oh, mom will kill us!!” jeritku pasrah membayangkan reaksi ibu ketika kami sampai rumah. Seragam You juga tak kalah basah dari punyaku. Melihat kami begini tentu saja ibu akan langsung menuduh kami hujan-hujanan.
“Ya sudah, kita pulang saja!” ajakku akhirnya.
“Tapi kan masih hujan?”
“Apa bedanya? Toh kita juga sudah basah! Memang kau mau menunggu hujan reda dengan pakaian begitu? Yang ada kau justru masuk angin!”
You pun mengikuti instruksiku untuk pulang bersepeda. Jalan yang kami lewati sudah cukup ekstrem tanpa perlu diguyur hujan. Dan kini, hujan membuat pematang sawah yang menjadi jalur alternatif kami untuk pergi-pulang sekolah itu makin licin hingga kami harus ekstra hati-hati.
Brukk!!!
Aku berhenti mengayuh dan menengok ke belakang. You jatuh tersungkur bersama sepedanya ke sepetak sawah yang entah milik siapa. Aku buru-buru menolongnya.
Gwenchana?” tanyaku panik. Tambah panik lagi begitu melihat lututnya berdarah akibat tergores pedal sepeda.
“Kakiku sakit sekali oppa! Eh, apa ini?” You kaget menemukan darah mengalir dari lututnya. Ia menyentuh cairan pekat itu menggunakan jari dan terkesan. Entah terkesan karena baru pertama kali melihat darah—tak mungkin—atau karena ini kali pertamanya mendapat luka.
Tanpa pikir panjang langsung saja kusobek lengan seragamku dan menggunakannya untuk menutup luka You. Setelah itu, aku menggendongnya pulang dan meninggalkan sepeda kami begitu saja. Yah, mau bagaimana lagi? Tak mungkin aku membiarkan You mengendarai sepeda lagi dan tersungkur untuk kedua kali, atau tak mungkin juga memboncengnya karena baik sepedaku maupun sepedanya tak punya tempat duduk ganda.
Oppa, tidak apa-apa kau membawaku sampai rumah? Memang aku tak berat, ya?”
“Tentu saja berat! Apa yang kau makan sih? Tubuhmu saja kecil tapi beratmu luar biasa” ketusku.
Yak! Kenapa bicara begitu?” You memukul kepalaku. Dasar anak ini, kutinggalkan dia sendirian baru tahu rasa ==’ “Aku kan juga wanita, dan wanita itu sangat sensitif, tahu! Seharusnya kau berbohong saja dengan mengatakan tidak apa, kau sama sekali tak berat kok atau ini sudah menjadi tugasku, mengapa aku harus keberatan bukannya bicara blak-blakan begitu!”
“Dasar. Kau fikir mudah menggendong orang sambil kehujanan begini?”
“Tentu saja, kau kan Master Kungfu!”
“CK. Tunggu sampai aku yang jatuh dan giliranmu membopongku.”
“Hmm, kurasa aku hanya akan menertawaimu dan meninggalkanmu saja. HAHAHA!”
“Ya sudah, jika begitu kau tak keberatan kalau kuturunkan di tengah jalan sekarang?”
“Eh yang benar saja! Masa kau tega melihatku pulang tertatih-tatih tak berdaya? Mana rasa kemanusiaanmu terlebih sebagai oppa-ku?” You langsung berontak.
Giliranku yang terkekeh jahil. “Makanya, jangan asal kalau bicara-”
Langkahku terhenti begitu kami tiba di pangkal jalan raya. Sebuah van hitam menampakkan wujud wanita paruh baya yang tak asing lagi. Meng Jia, ibu kami. Ibu keluar memanggil nama You sambil berurai air mata. You turun dari punggungku dan ibu langsung mendekapnya. Pria berjas yang duduk di sampingnya tadi, Tony Huang—ayahku—ikut keluar memayungi keduanya. Dia menatapku nanar dengan raut wajah berduka.
Aku yang melihat pemandangan itu hanya bisa menerka-nerka apa yang sekiranya sedang terjadi. Apakah ibu mencemaskan You yang tak kunjung pulang? Tapi mengapa sampai berlebihan begitu, bahkan ikut membawa-bawa ayah yang harusnya masih berada di perusahaan saat ini?
Dan tahulah aku yang sebenarnya terjadi saat kami tiba di rumah. Persoalan orang dewasa yang begitu rumit bagi bocah ingusan yang masih duduk di bangku SMP sepertiku. Yang benar-benar kupahami hanyalah:
You pergi meninggalkan keluarga Huang untuk waktu yang sangat lama bersama sepasang pria dan wanita tak dikenal.
Oppaaa!
Kulihat wajah sendu You yang banjir air mata dari kaca belakang mobil. Aku lari menerobos hujan untuk mengejar mereka—mengejar You, adikku satu-satunya.
“You! Huang Zi You!!!”
Namun, apa daya tubuhku yang kecil ini tak akan mampu mengejar sedan yang ‘menculik’ adikku itu. Merengek pada ayah ibu pun percuma, mereka hanya bisa meratapi kepergian You.
You, gadis itu. Aku tak percaya dia tak lagi menjadi bagian dari Huang family. Ternyata aku salah memunajatkan doa. Yang kuingini bukanlah dia pergi dan menghilang dari hidupku selamanya. Bukan begitu! Bukan seperti itu, You!
Kumohon, jangan pergi.
Jangan menciptakan keheningan dengan berhenti meracau di sisiku.
Jangan pergi.
Kembalilah dan repoti aku dengan segala permintaan absurdmu.
Jangan pergi.
Aku bilang jangan, Huang Zi You!!!
.

.

.
Andwae!!”
Kutemukan diri terduduk di atas bed dengan peluh membasahi. Oh sial, lagi-lagi mimpi itu. Kenapa kenangan itu masih terus saja menghantuiku? Kuacak rambutku. Weker di samping menunjukan pukul 7:15. Segera kubangkit untuk membersihkan diri.
“Tao, mana adikmu?” suara ibu menyapa lembut gendang telingaku ketika aku turun ke ruang makan.
“Mungkin dia masih molor.” jawabku asal setelah mencomot waffle cokelat di piring. Wait, memangnya anak itu tidur? “Akan kupanggil dia untuk sarapan.”
Aku bergegas naik ke lantai dua, ke kamar You. Clek! “You-ya—”
Oppa!!!”
Buru-buru kututup kembali pintu kamarnya setelah dia mengotori mata polosku ini *lie* dengan pemandangan vulgar di dalam sana. Seharusnya dia mengunci pintu atau memasang peringatan jika sedang berpakaian seperti tadi. Dasar ceroboh.
“Ada apa?” mukanya menyapaku dengan ekspresi datar setelah membuka pintu.
“Berapa kali kubilang untuk mengunci pintu kalau sedang ganti baju!? Kau itu perempuan! Seandainya yang masuk tadi orang lain bagaimana?! Kau mau tubuhmu dilihat oleh orang yang tak pantas mendapatnya??” gerutuku.
“Ck. Kau yang salah tidak mengetuk dulu. Menyeleweng masuk seenaknya, jangan-jangan malam pun begitu?” tuduh You.
“Enak saja! Untuk apa aku melakukannya?”
Who knows?
Aku bergemeletuk. “Jangan ulangi lagi. Sebagai wanita kau harus jaga kehormatanmu.”
“Heh~Iyakan saja. Aku tahu dalam hati kau bersyukur.” gumam You tak jelas.
“Aku dengar kau bilang apa. Kau fikir aku pervert, begitu?!” kucubit pipi chubby-nya sampai ia meronta kesakitan. ‘Penyiksaan’ itu baru berhenti kulakukan setelah pesan masuk dari Kai.
Hyung, kami sudah di SM.
Tak lama kemudian kuketik balasan, ‘We’ll be there soon.
“Cepat, Kai dan lainnya sudah menunggu. Kau ikut tidak?”
“Ikut? Kemana?”

**

TBC

Unknown Bohemian [Part II]


Unknown Bohemian—Part 2

Fanfiction by Jiyeonichi29 (@Alvia Rachmanda)

Genre: Fantasy, Romance, Family, campur-campur :D

Rating: 17

Main Cast: Huang Zi You (as you), Huang Zitao (EXO-M), Wuyifan/ Kris (EXO-M), Do Hana (OC)

___

Hana’s POV

Semalam tidurku nyenyak sekali. Bahkan, Kris sampai muncul dalam mimpiku! Hahh, kurasa aku memang sudah dimabuk olehnya. Benar, aku tergila-gila padanya.
Kris itu... Dia bagaikan pangeran. Pangeran dari negeri dongeng yang mengemban misi di dunia nyata untuk menemukan belahan jiwanya; seorang putri cantik jelita, yaitu aku. Hihi. Kadang aku geli sendiri bila membayangkan suatu saat kami menikah dan memiliki anak yang lucu-lucu, mendengarnya memanggilku ‘sayang’, mencumbuku setiap pagi, dan memuaskan hasrat bercintanya saat malam.
Kyaaa~ Kurasa wajahku panas dan memerah.
Noona, sarapan sudah siap!” Suara Kyungsoo terdengar dari luar.
“Iya!”
Kupandangi pantulan diri di cermin sebelum turun untuk mengisi perut. Baik, kau sangat mempesona, Hana-ya! Berjuang untuk mendapatkan Kris! Fighting!!
“Aku tidak jadi ikut ke Huang Golf Resident. Mulai hari ini kami ada latihan vokal.” cerita Kyungsoo di meja makan.
“Kalau begitu aku akan pergi dengan Kris.” jawabku semangat. “Tapi tunggu, bukankah festivalnya masih lama?”
Festival yang kumaksud bukanlah festival outdoor yang semua pesertanya berjalan berarak-arak memakai kostum warna-warni. Sebaliknya, festival berjudul SMTown Party ini akan berlangsung mewah di dalam teater. Festival ini menghimpun alumni-alumni SM Art High School untuk berpartisipasi dalam acara peresmian SM Theater.
Kebetulan kami semua adalah lulusan SM—aku, adikku, Tao, Sehun, Kai, juga Kris. Kyungsoo akan bernyanyi bersama grupnya, sementara aku akan bermain dalam drama musikal. Kwartet rapper itu mungkin akan menunjukkan kebolehan mereka.
“Masih dua bulan lagi sih~”
Ting! Kyungsoo dengan cepat menyelesaikan makannya setelah mendapat pesan dari seseorang. “Aku harus pergi sekarang, noon. Kyuhyun hyung menyuruh untuk berkumpul. Sampaikan salamku pada yang lain.”
Aku mengiyakan saja sambil melanjutkan makan. Rencanaku selanjutnya adalah menelfon Kris agar menjemputku.
Noona, kau tak apa ‘kan pergi sendiri?” Kyungsoo kembali lagi.
It’s okay. Aku kesana bersama Kris, kok. Kau pergi saja, nanti terlambat.”
“Baiklah, agaknya nanti aku pulang telat. Jika sempat aku pasti mengunjungi kalian. Daag~!”
Kyungsoo melambai singkat lalu menghilang di balik pintu.

**

Your POV
Aku hanya mengenakan t-shirt berkerah warna mustard yang kupadankan dengan rok putih sepaha. Tak lupa, sebuah snapback BWCW kebesaran yang kuambil dari kamar Tao. Meski sudah kuatur snap-nya hingga ukuran terkecil, tetap saja masih kebesaran untukku. Aku jadi bingung sebenarnya kepalaku yang kekecilan atau memang Tao punya kepala yang super besar?
“Sejarah darimana main golf pakai snapback? Dan—hei! Bukannya itu punyaku?!!” Tao kalap melihatku turun.
“Aku pinjam.”
“Pinjam tanpa izin = pencurian. Kembalikan.”
“Hya, kenapa kau pelit sekali? Lagipula aku tak mau pakai topi aneh itu. Percuma saja kalau kepalamu masih terpapar sinar matahari.”
Kai dan Sehun datang menenteng satu perangkat penuh golf dari ruang penyimpanan. “Noona, di thana tempatnya teduh, kok. Jadi jangan takut kulit noona akan terbakar.”
Aku tahu, Oh Sehun. Dulu aku juga bagian dari keluarga ini, ingat? Satu hal yang membuatku masih bisa bernapas lega adalah tempat itu sama sekali tak tersentuh cahaya mentari sehingga aku tidak perlu risau tentang jati diriku—tentang duniaku, dunia yang sama sekali berbeda dengan manusia.
.

.

.
Itu adalah hari dimana sepasang pria dan wanita berkulit pucat mendatangiku. Pertama kali melihatnya, ada rasa takut saat menatap bola mata emerald si wanita, serta mata si pria yang irisnya dapat berubah-ubah—hitam, emas, merah. Dua pasangan muda yang mengaku sebagai orangtua kandungku itu meminta izin untuk membawaku beserta mereka.
Tentu saja aku merengek, tak rela meninggalkan ibu, ayah, dan juga Tao. Bagaimanapun juga rasanya menyakitkan bahwa aku bukan putri kandung keluarga Huang. Butuh banyak penjelasan tentang mengapa dan bagaimana orangtuaku ‘mencampakanku’, lalu menemukan dan berniat membawaku pulang kembali.
Masih segar di ingatanku apa yang dikatakan Lee Donghae—ayah kandungku—saat kami tiba di Forks.
“Kau adalah seorang vampire.”
Rasanya dunia langsung jungkir balik, mengacaukan semua ingatanku tentang hidup. Vampire? Makhluk yang selama ini kupikir hanya mitos belaka? Aku merasa seperti dibacakan sebuah dongeng. Bohong. Namun sekeras apa aku mencoba untuk tak percaya, pada akhirnya aku tetap tak bisa mengelak terhadap garis kehidupan yang telah ditakdirkan padaku.
Bahwasannya, aku ini memanglah vampire.
“Kami terpaksa menitipkanmu di panti asuhan karena kala itu sedang gencar pemusnahan bayi-bayi immortal. Meski kenyataannya kau bukan kaum mereka, pada masa itu Volturi menganggap semua bayi yang terlahir dari pasangan vampire merupakan immortal. Seperti kau tahu, penciptaan makhluk immortal sangat dilarang di dunia kita. Maka dari itu, aku dan ibumu memutuskan untuk mengasingkanmu di dunia manusia agar tak tercium dan disalahartikan Volturi.”
“Seberapa bahayakah makhluk immortal itu hingga Volturi sangat berobsesi untuk melenyapkannya?”
“Jika vampire masih dapat mati dengan membakar tubuh atau memotong kepala mereka, maka itu tak berlaku bagi makhluk immortal. Ya immortal, ya, abadi. Dan keabadiannyalah yang sering disalahgunakan bangsa Lucifer untuk menjadikannya inang dan mengambil alih dunia. Sebenarnya sangat sulit untuk mengidentifikasi seorang immortal, karena mereka mayoritas terbentuk dari peleburan manusia dengan vampire. Itulah salah satu alasan mengapa pernikahan vampire dengan manusia sangat tidak diperbolehkan!”
“Lalu, apakah kita juga meminum darah seperti vampire di film-film? Tapi seumur hidup aku tak pernah melakukannya. Aku makan seperti yang dimakan manusia, dan aku tidak mati.” Tanyaku polos. Maklum saja, usiaku masih 14 saat itu. Dunia supranatural masih terlalu awam bagiku. Aku hanya menyimak setengah-setengah dari apa yang dijelaskan Donghae, itupun karena aku ingat kehidupan Cullens di Twilight Saga. Kurang lebih seperti itu.
“Sebenarnya iya, makanan vampire adalah darah. Terutama darah manusia. Tapi kami adalah vegetarian, jadi kami hanya mengonsumsi darah hewan. Tak ada istilah bagi vampire mati kelaparan. Jadi bila seorang vampire tak minum darah dari keduanya, ia masih dapat bertahan namun kemampuannya akan berangsur lenyap. Sama seperti kau. 14 tahun hidup dengan cara manusia membuat vampire ability-mu berkurang. Bahkan pada hal-hal kecil seperti penciuman, pendengaran, maupun perasa. Kau menjadi lebih tidak peka. Semakin mudah lelah, lemah, persis manusia. Pada akhirnya kau bukan lagi seorang vampire, namun juga bukan manusia. Perubahan itu disebut Dracusitosys, sedangkan makhluknya dinamakan Dracemia. Mungkin kau tahu Zombie? Nah, Dracemia mirip itu. Karenanyalah, bersamaan dengan meredanya pemburuan bayi-bayi immortal, kami mengambilmu kembali untuk menjadikanmu vampire sungguhan.”
“Jadi... Itulah kenapa akhir-akhir ini aku tak sehiperaktif dulu lagi? Dan penyakit tidurku itu sebenarnya bukan suatu sindrom seperti yang mereka katakan?”
“Tepat sekali. Vampire tak pernah tidur, itu juga yang terjadi padamu. Namun belakangan kekuatan supranaturalmu menurun drastis dan apabila dibiarkan, kau akan bertransformasi menjadi Dracemia. Tapi kau tak usah khawatir, sebulan setelah kau rutin mengonsumsi darah, kekuatanmu akan berangsur pulih dan kau akan kembali menjadi vampire seutuhnya.”
“Lalu, bagaimana aku bisa tidak tergiur sementara selama ini aku hidup di lingkungan manusia? Bukankah seharusnya aku bernafsu untuk menghisap darah mereka?”
“Itu disebut kekebalan. Sedari kecil kau tinggal bersama mereka, hidup seperti mereka, mengikuti pola hidup mereka. Kau tak akan bertahan bila dulunya pernah mencicipi walau hanya semili darah.”
O-ow. Itu berarti, setelah aku meminum darah nanti, akan sulit bagiku untuk bertemu keluarga Huang lagi? Benarkah?

**

Darah... Darah... Darah...
Betapa nikmatnya ketika darah segar itu mengalir membasahi kerongkonganku. Jika diibaratkan sebuah gurun pasir, maka hujan baru saja melesapkan geringnya. Ahh, kalau darah rusa saja rasanya senikmat ini, bagaimana bila kucoba menghisap darah manusia?
Kata Luhan, namja yang mengajariku tata cara berburu hewan itu, ia pernah mencicipi seekor nyamuk yang baru menghisap manusia. Dan rasanya? Mungkin kau tahu rasa secuil gula-gula yang menggodamu untuk lagi dan lagi, tapi ibumu melarang membelinya? Ya, seperti itulah!
Oh apa yang kupikirkan? Tidak boleh! Tepis pikiran konyolmu itu, You! Aku harus ingat perkataan Jessica. Darah manusia itu seperti narkoba, hanya saja bila narkoba sifatnya merusak tapi darah manusia sifatnya membangun (?).
Aku mendesah bahagia, mengelap bibir yang bercemot darah dengan punggung tanganku. Luhan sudah berdiri di belakangku dan mengajak pergi. Sekedar informasi, Luhan juga anggota komunitas keluarga Lee. Dalam silsilah, kami bisa dibilang sepupu. Tampaknya saja kami seperti oppa-dongsaeng, tapi sebenarnya beda usia kami ratusan tahun!
Itu adalah kesekian kali aku menyantap darah sebagai makanan sehari-hari. Selanjutnya, saat Jessica dan Donghae tahu jika aku ingin kembali pada keluarga Huang, mereka menyarankan agar di Seoul aku meminum darah donor saja.
“Bolehkah?” tanyaku dengan mata berbinar.
“Mau bagaimana lagi? Kau tidak mungkin meneror kota dengan menebarkan desas-desus kalau banyak hewan ternak mati kehabisan darah. Itu justru akan membahayakan kita.” jawab Jessica.
“Tapi bagaimana jika aku tak dapat mengendalikan diri dan... dan... aku menerkam manusia?”
Jessica menghembus nafas. Wanita berambut almond yang terjebak dalam tubuh berumur 26 tahun itu adalah ibuku. Tak percaya? Sama!
Usiaku kini 21 dan artinya beda usia kami hanya lima tahun. Pertumbuhanku baru akan terhenti setelah aku menghisap habis darah seorang pria. Jika tidak, aku akan terus tumbuh bahkan bila sampai ratusan atau ribuan tahun! Itu karena aku tak seperti Jessica yang bertransformasi karena digigit Donghae, melainkan sejak lahir aku murni seorang vampire. Bisa kalian bayangkan jika dalam lima atau lebih tahun aku masih terus tumbuh, siapa yang akan memanggil siapa? Akan aneh bila aku mengklaim jika Jessica ibuku meski itu realita.
“Sebenarnya, kau tak akan mau ‘memakan’ mereka jika bukan karena rangsangan seksualitas. Intinya, seorang vampire bergairah menghabisi mangsanya (manusia) karena daya pikat atau rasa cinta. Seperti dulu ketika ayahmu menjadikanku vampire, atau seperti pasangan-pasangan vampire lain yang salah satunya berasal dari manusia. Selain daripada itu, biasanya vampire yang menyerang manusia telah dirasuki iblis atau memang dia seorang Immortalers.”
.

.

.
Yak, kau mau ikut apa tetap berdiri di situ seperti orang dungu?”
Aku menengok ke sumber suara dan menemukan Tao memanggilku dari mobil. Sehun dan Kai juga sudah stand by di jok belakang dengan wajah over semangat.
“Tunggu aku, oppa!” teriakku lantas berlari mengejar Japp yang mulai dialihfungsikan Tao seperti mobil-mobilan untuk memancing balita. Heh, apa dia lupa kalau aku seorang vampire—maksudku, pelari maraton?
Noona makan apa sih bisa lari secepat itu? Padahal Tao hyung ‘kan mantan racers!” Kai terpukau bukan main.
“Thehun thuka thekali pada noona-noona yang berthemangat.” Sehun memposisikan dagunya pada sandaran jokku, berusaha menggodaku dengan mimik nakalnya. Iya, kuakui, aku tergoda >///<.
“Eh, bohong! Kau kan memang suka semua jenis noona, sampai yang obesitaspun kau embat!” sorak Kai.
“Kalian tak usah memuji berlebihan begitu. Dan kau tidak perlu juga menggoda adikku, Oh Sehun! Lihat, dia jadi geer setengah mati.” Tao melirikku sinis dan kubalas dengan lebih sinis.
“Apa masalahmu, heh? Lebih baik kau ajari aku drifting!”
“Huh? Jangan harap!” tolaknya mentah-mentah.
“Kenapa?”
“Kau tahu kau itu kelewat hiperaktif dan selalu kelebihan energi. Kau mau aku ajari drifting? Sama saja artinya membunuh para pengguna jalan!”
“YAKK!” Aku menyengir dan langsung menjambak rambutnya kencang-kencang.
Ya!Ya!Ya! Berhenti menarik rambutku, bodoh! Aku sedang mengemudi!”
“Tidak akan sampai kau berjanji mengajariku!”
“Bahkan bila aku harus matipun jangan harap aku memberitahumu!”
“Kalau begitu, jangan salahkan bila kita mati bersama saat ini juga!!”
Aku bersikukuh tak mau menyingkir, tetap mencengkeram helaian rambut hitamnya bak sebuah tali tambang sementara di bawahku jurang dengan batuan curam. Alhasil, Tao kehilangan kendali dan mengemudi dengan oleng. Sehun dan Kai berteriak-teriak heboh memperparah keadaan. Sementara itu, di luar, di jalanan, pengemudi lain dengan geram mengklakson kami karena sudah seenaknya memonopoli jalan raya~~~

**

Normal POV

“Bagaimana? Apa disana dia baik-baik saja?”
Jessica memperhatikan Donghae yang tak kurang dari hitungan detik melompat dari satu pohon ke pohon lain dan sekarang, berdiri tepat di hadapannya. Ia mengeluh.
“Kau tahu anak itu. Semenit lalu aku melihatnya nyaris menyebabkan kecelakaan massal.”
Jessica mendesah. “Sudah kuduga akan begitu.”
“Tenang saja, dia sudah dewasa. Lama-lama dia juga terbiasa mengontrol kekuatannya.”
“Aku tak percaya itu, Hae. Dia sangat pecicilan, persis dirimu. Aku harus melakukan sesuatu.”
“Hei,” Donghae mencekal tangan Jessica, “Tak usah sepanik itu. You kita akan baik-baik saja, hm?”
“Yang kukhawatirkan bukan dirinya, melainkan manusia-manusia yang berpeluang celaka akibat ulahnya.”
“Sica... -_-”
“Aku harus pergi se—”
“Shh.”
Donghae meletakkan telunjuknya di bibir wanita bermarga Jung itu. Selanjutnya giliran jemarinya yang bermain-main di wajah Jessica. Demi apapun, Jessica adalah wanita tercantik yang pernah ditemui Donghae di dunia ini. Dan—tentu saja—Donghae sangat mencintainya.
“Kalau diingat-ingat, kita belum melakukan morning kiss hari ini.” Desis Donghae seductive. Ditatapnya lekat wajah Jessica mulai dari sepasang mata onixnya, hidung mancungnya, relung pipinya, serta rahang indahnya dan terakhir bibir Jessica yang selalu membuat diri Donghae diburu nafsu. Donghae mendekatkan wajahnya secara perlahan, pelan, pelan...
CHU!
Pria ikan itu mengerjap matanya dua tiga kali. Sesuatu yang tak pernah vampire lakukan.
“Sudah? Kalau begitu aku akan pergi mengurus putri kita.”
Tanpa babibu lagi Jessica segera melesat pergi. Sementara Donghae masih berdiri terdiam. Lalu, ia tertawa sendiri. Hampir 300 tahun ia hidup dan bertemu banyak sekali wanita namun tak ada satupun dari mereka yang pernah mencumbunya duluan seperti yang baru Jessica lakukan—bahkan ini pertama kali sejak ia mengikat janji dengan Jessica sekitar 22 tahun lalu.
“Dasar.”

**

TBC

___

A/N:
Hyahaaa chapter 2-nya sudah dipost :DD Karena mengandung beberapa kata vulgar dan sedikit adegan, yeah, you know lah, FF ini ku-rating 17. Jadi yang merasa di bawah umur dan udah terlanjur baca, nggak dosa sih, karena authornya sendiri juga masih 15 XD
Seperti biasa, silakan dikomen~