Selasa, 25 Maret 2014

Unknown Bohemian [Part IV]


Unknown Bohemian—Part 4 (Your Side)

Fanfiction by Jiyeonichi29 (@Alvia Rachmanda)

Genre: Fantasy, Romance, Family, campur-campur :D

Rating: 17

Main Cast: Huang Zi You (as you), Huang Zitao (EXO-M), Wuyifan/ Kris (EXO-M), Do Hana (OC)

Ó 2014 Jiyeonichi29. Don’t copy or steal without permission and take out all credit.
DON’T BE SILENT READER.
___

Your POV

Tao memainkan tongkat persneling dan menyerasikan posisi mobilnya dengan jejeran mobil lain di lahan parkir sebuah luxury building yang tak kupercayai adalah bangunan sekolah. SM Art High School. Sekolah seni paling besar di Korea. Gedung SM terdiri atas ruang-ruang berkelas yang mereka sebut departemen. Ada departemen Dance, Singing, Acting, Composing, dan banyak lagi. Tao sendiri lulusan dari departemen Dance and Sing, dan dia jago sekali dalam sword dance.  Aku iri padanya yang bisa merasakan duduk di sekolah seelit itu.
“Tao-ya! Zi You-ssi!” Hana juga baru datang dan tebak, ia bersama Kris. Seperti kuduga, harum thyme yang menggelitik saraf-saraf olfaktoriku berapa belas menit lalu nyatanya memang berasal dari Kris.
“Hai, Hana-ya! Kris ge, kau datang juga?”
Kris hanya mengulum senyum tipis. Demi Tuhan, Dewa Appolo sekalipun kalah tampan darinya!
“Kau akan menampilkan apa di festival nanti?” tanya Hana.
“Aku hanya datang karena sudah lama tak kemari. Juga, sekalian mengajak You. Aku tak berminat menampilkan apapun.”
“Kenapa? Padahal kau bisa menyumbangkan suara, tarian, atau sekalian saja jurus kungfumu!” Hana tergelak dengan ucapannya sendiri. Aneh. Sementara aku hanya bungkam karena Kris selalu mengunci tindak-tindikku setiap kami berada dalam radius 500m.
“Hai themuanya!” Sehun menemui kami dengan suaranya yang kelewat nyaring. Untungnya ini hari Sabtu, jika tidak tentu dia akan langsung didepak oleh penjaga sekolah karena telah mengganggu ketenteraman murid di sini. Di belakangnya, dua namja asing yang sepertinya seangkatan dengan mereka langsung melakukan tos bersama Tao dan Kris. Hana tak luput disapa oleh dua orang yang selanjutnya kuketahui bernama Baekhyun dan Chanyeol itu.
“Siapa gadis ini, Tao? Yeojachingu-mu, eh?” goda si pemilik telinga kurcaci, Chanyeol.
“Dia adikku.”
Eoh, kau punya adik? Tak pernah cerita?”
Baekhyun menyikut Tao. “Dia cantik. Perkenalkanlah pada kami.”
Aku tersipu, Tao terkekeh hambar. Tanpa diduga-duga, Tao mengeluarkan jurus wushunya. Tidak serius, memang. Namun sukses membuat Baekhyun mengaduh kesakitan karena pinggulnya terbentur lantai. Selanjutnya mereka main tinju-tinjuan dan Tao mampus dikeroyok tiga sekawan itu. Sungguh cara reunian yang aneh.
Attention, please. Diharap bagi para alumnus untuk berkumpul ke departemen masing-masing karena latihan akan segera dimulai. Terimakasih.” Suara dari loudspeaker menghentikan aksi konyol keempat makhluk itu. Hana pergi duluan lantaran teman-teman dari kelompoknya sudah menyuruh bergabung.
Kajja! Kita juga harus ke departemen Singing.”
“Kalian saja. Aku tak ikut.” Tolak Tao.
Waeyo? Apa kau sudah tak tertarik dengan dunia menyanyi sejak ditolak mentah-mentah oleh...”
“Tutup mulutmu! Aku bukan pria yang hanya bisa meratapi nasib dan bersikap menyedihkan sepertimu.”
Chanyeol menyunggingkan bibirnya. “Jika demikian tunjukkan bahwa kau benar-benar sudah melupakan nona Hwang.”
Nona Hwang? Siapa itu? Apa diam-diam Tao menjalin hubungan dengan seorang wanita? Kukira dia gay!
“Dasar payah. Aku tak mungkin meninggalkan You sendirian. Dia ini bodoh, bagaimana kalau sampai tersesat di tempat sebesar ini?” Tao mengataiku di depan namja-namja beraroma menyegarkan itu. Menyebalkan.
“Alasan! Itu tidak benar, ya kan, nona manis?” Baekhyun mengerling menawan padaku. Omoooo! Jantungku rasanya mau copot.
“Aku akan menjaga You untukmu.”
Seketika pikiranku runtuh oleh suara berat yang tak disangka-sangka terlontar dari pria yang telah mengusik akal sehatku selama ini. Apa aku salah dengar? T-tidak mungkin...
“Memang hyung tak ikut ke departemen?” tanya Sehun.
“Aku akan mendaftar setelah memutuskan berpartisipasi ke departemen mana.”
“Hm, ya thudah. Lebih baik kita cepat pergi karena yang lain thudah berkumpul. Ppalli ppalli!
Sehun, Baekhyun, dan Chanyeol saling berkejaran menuju departemen yang sama.
“Aku tak akan lama. Gege,  jangan biarkan dia berkeliaran dan menghancurkan barang-barang di sini.” Tao memandangku mengejek. Sempat kulayangkan cengiran padanya sebelum ia membawa tubuh kerempengnya menyusul trio tadi.
Well, sekarang apa?

**

Aku tak tahu harus berterimakasih atau mengutuki oppa-ku setelah dia terang-terangan menitipkanku pada Wu Yifan hingga sekarang aku benar-benar terjerumus dalam pesona pria dengan sorot mata mematikan itu.
Selagi Kris memberiku tur singkat keliling SM, aku tak dapat berhenti memandanginya. Aish, kenapa dia begitu indah di mataku? Mata ‘Elang’-nya. Hidung mancungnya. Relung pipinya. Rahang tegasnya. Bibirnya ya Tuhan... Nafasku selalu tersengal membayangkan melumat habis bibir montok pria itu. Kurasa diriku tengah digerayangi nafsu. Nafsu untuk menjadikan Kris milikku seorang lalu mengeksploitasi tubuhnya sepuas hati.
“Kau mendengarkanku, nona You?”
Mataku melebar kala manik matanya menancap tepat di pupilku. Kutatap matanya lekat-lekat. Terus tatap aku begitu, Kris. Kau membuatku merasa nyaman dan bergairah di saat bersamaan.
“Bahkan bila kau memintaku mengulang semua yang kau ucapkan aku bisa. Aku menyimak setiap frasa dalam kalimatmu dengan seksama.”
Ia masih menatapku intim. Astaga, jujur, aku suka sekali caranya memandang. Seperti, aku satu-satunya gadis di dunia ini yang dilihatnya. Aliran darahku menderu laju bersamaan dengan hasrat yang menggebu-gebu. Bibirku bahkan sampai gemetaran.
“Tak perlu. Aku hanya memastikan bila kau tak terlalu sibuk memperhatikanku saja sehingga kata-kataku hanya seperti angin lalu.”
Jadi dia sadar jikalau sedari tadi mataku aktif menjelajah tubuhnya? Ah, tentu saja dia tahu! Bodoh!
“Maafkan jika itu mengganggumu.”
“Itu memang menggangguku. Aku tak suka orang melihatiku sedemikian rupa seolah sedang menelanjangi tubuhku.”
Telanjang? Ya ampun, dia salah memilih diksi! Begitu itu—diksi—diserap telingaku, maknanya langsung meracuni akal sehatku.
“A-aku minta maaf.”
Aku salah tingkah. Kurasa rona merah mulai membanjiri pipiku. Kris menghembus, melepas karbon dioksida yang mengusap lembut kulit wajahku yang kesegarannya bahkan telak mengalahkan Peppermint. Dalam jarak sedekat ini, dapat kudengar jelas denyut jantung maupun nadinya yang mengundangku untuk menerkam. Aku meneguk saliva. Aku harus mengendalikan diri!
“Zi You-ssi,”
“Ya?”
“Matamu...”
“Ada apa, gege?” tanyaku antusias. Kiss me oh please kiss me!
“Apa matamu berubah warna?”
Sontak aku terkejut. “B-berubah warna? Aish, bagaimana mungkin?” Buru-buru aku menyingkir hingga posisiku tak lagi terimpit di sudut koridor. Aku mengambil celah untuk menetralisir kegugupanku. Sungguh bencana sampai dia yakin kalau...ouch! Bagaimana bisa mataku berubah di situasi begini? Kacau.
“Golden. Barusan matamu golden.”
Aku lekas menampik. “Pasti itu hanya karena pantulan sinar matahari. Mustahil sekali warna mata manusia berganti.” Kecuali bila dia bukan manusia, tambahku dalam hati.
“Tidak. Irismu berubah. Sungguh.”
Kris bersikeras dan makin menatap tajam bola mataku. Sial. Aku mati kutu. Kupaksa otakku bekerja. Apa? Apa? Apa? Aha!
“L-lensa.”
Mimiknya membentuk tanda tanya, tak mengerti dengan ucapanku. “Aku baru ingat, aku memakai lensa 4D (?) yang kubeli dari toko optik di Ohio. Lensa ini bisa berubah warna tergantung cuaca dan kondisi. Ya.” Jelasku mengada-ngada. Kris tampak berpikir, berusaha mencerna kalimat-kalimat hancurku yang terurai semrawut.
“Begitu?” responnya datar. Ia memundurkan tubuh sehingga memberi ruang bebas bagiku bernapas. Akhirnya.
TETTT~
Bunyi bel menjadi tanda bahwa jam departemen telah usai. Itu berarti, aku harus segera pergi menemui Tao sebelum ia mengamuk karena tak kunjung menemukanku.
“Tao oppa pasti sedang menungguku sekarang. Kau tak keberatan mengantarku kembali, gege?”

**

Semua sedang bernostalgia dengan bercanda ria di kafetaria sekolah. Sehun, Kai, Baekhyun, Kyungsoo, serta Chanyeol tengah menyantap makanan masing-masing. Dua orang yang tak kusebutkan namanya—Tao dan Hana—memasang wajah gusar perihal menunggui sesuatu. Begitu melihat kami, Tao langsung beranjak dari kursinya.
“Darimana saja?” tanyanya. Ada kecemasan dalam kalimat sinisnya.
“Keliling sekolah.” Jawabku singkat. Aku mengambil tempat duduk di samping Tao. Kris menarik kursi di depanku, sehingga saat inipun aku masih dapat mengagumi wajah rupawannya. Satu jam menghabiskan waktu bersamanya tadi tak jua membuatku puas. Sebaliknya, aku malah makin teradiksi.
Oppa, ini. Aku memesan sup kari untukmu.” Hana menyodorkan semangkuk sup setelah menyuruh Kai bergeser agar ia dapat duduk di sebelah Kris. Kris berterimakasih dan mengaduk supnya yang mengental. Melihatnya makan pasti akan sangat menyenangkan. Aku dilanda perasaan tak sabar!
“Hana, kau jahat sekali. Kenapa You yang di depanmu tak kau tawarkan?” celetuk Baekhyun dari bangkunya. “You-ya, makan punyaku saja.”
“Tak apa. Aku kenyang.” Tolakku halus. Bukan sungkan, tapi karena memang tak berselera makan benda seperti itu. Jika saja Baekhyun menawarkan adalah darahnya, mungkin aku akan berpikir dua kali untuk menolak.
“Jangan malu-malu. Ambilah.”
“Terimakasih, Byun-ssi. Tapi aku—”
“Apa kau mau aku suapi?”
“Berhentilah bersikap porno begitu, Baekhyun!” sela Tao, menghentikan tingkah Baekhyun yang nyaris membuat pipiku blushing. Bagaimana tidak? Wajahnya sangat kawaii, seperti anak kecil. Tak percaya? Kau harus lihat fotonya di Google! Dia punya sepasang eyesmile yang mampu membuat wanita manapun melting saat melihatnya. Ah, aku sungguh patut bersyukur karena dikelilingi oleh malaikat-malaikat berparas tampan.
“Aku kan hanya menawari.” Sahut Baekhyun santai.
“Kau menawari sesuatu yang tidak disukanya. Asal tahu saja, dia tak makan apapun selain daging.”
Penjelasan Tao membuatku bergeming. Meski itu sudah lama sekali, tak kusangka dia masih ingat. Ya, dulu, aku tak pernah mau menyentuh makanan lain dan hanya suka menyantap daging. Sekali makan, aku bisa menghabiskan enam pound tenderloin sapi panggang. Orangtuaku saja sampai bergidik melihat cara makanku yang ekstrem itu. Omong-omong, sudah berapa hari aku tak mengasup makanan? Kerongkonganku semakin gersang saja.
“Benarkah? Kenapa?” Chanyeol ikut penasaran.
“Karena thudah takdir!” Sehun menjawab seadanya. Sehun, Kai, dan Kyungsoo adalah teman kecilku. Tak ayal, mereka mengenalku dengan sangat baik. Lain halnya dengan Hana, Kris, Baekhyun atau Chanyeol. Meski keempatnya merupakan sahabat karib Tao, aku tak pernah tahu mereka. Mereka hadir di hidup Tao setelah aku pergi dari hidupnya—untuk sesaat.
“Kyuhyun hyung!
Seruan itu serempak membuat kami menoleh pada seseorang yang mendapat lambaian tangan Kyungsoo. Di entri masuk, seorang namja dengan kulit pucat pualam berdiri tersenyum. Ia berjalan menuju kemari.
Aura dingin perlahan menguar. Bulu romaku berdiri tegang, mengendus sesuatu tak biasa. Aneh. Apa yang terjadi?
“Hai,” Satu buah suara bariton mengelus merdu pendengaranku. Wangi mistis kudapati dari pria bernama Kyuhyun itu. Siapa dia?
Sunbaenim! Apa yang kau lakukan dithini?”
“Bodoh. Dia ‘kan alumni!” rutuk Kai.
“Oh iya. Hehe.”
“Kelihatannya ada pesta reuni di sini.” Ujar Kyuhyun basa-basi. Senyum ganjilnya yang hanya separuh itu membentuk kesan evil dalam dirinya. Kehadirannya merubah nuansa yang semula riuh, ribut, jadi mencekam. Ada sesuatu yang janggal di sekitar sini—di sekitar Kyuhyun.
“Dibilang reuni, tidak juga. Aku kelewat bosan bertemu mereka setiap hari.” Curhat Tao dan langsung dicurahi kata ‘huuu’ oleh teman-temannya. Kyuhyun tertawa gurih, memamerkan deret gigi putihnya.
“Kudengar festival nanti akan diliput oleh stasiun TV-mu, oppa?” tanya Hana kemudian.
“Betul. Aku bekerjasama dengan Tuan Sooman.”
“Woaah hebat! Itu berarti kita akan tampil di TV!” Baekhyun, Chanyeol, dan Sehun gaduh bukan main. Mungkin jika aku alumni SM, aku sudah akan bergabung bersama kericuhan mereka. Tapi karena aku tak mengerti apa-apa, aku hanya bersikap kalem, menahan hawa dingin yang sejak tadi mengepungku. Hanya mengepungku.
Tanpa sengaja, manik mata kami—aku dan Kyuhyun—bertemu. Hei! Apa baru saja kulihat irisnya gelap total? Itu bukan lensa 4D kan ==??
“Kurasa aku tak pernah melihat gadis ini sebelumnya.” Kata Kyuhyun tertuju padaku.
Memang tidak! Bertemu saja baru, bagaimana mungkin kau mengatakan pernah melihatku?
Tao mengenalkanku padanya. Aku mengangguk kecil.
“Huang Zi You, Huang Zi Tao. Ahh, Huang bersaudara!” cetusnya dengan mata setengah melotot. Mulutnya menyeringai lebar semakin menambah kesan horror. “Rupanya kau ada saudara perempuan.”
“You noona ini dari UTHA, hyung. Baru theminggu lalu ia pulang.”
Kyuhyun menarik napas dalam hingga membuat tulang rusuknya tercetak jelas di permukaan kulitnya yang hanya mengenakan ­sleveless shirt putih. “Hmm, gadis Amerika ya?” ucapnya seraya membuatku risih dengan segala perlakuannya—menatapku lengket, meraih jemariku lalu mengecupnya.
“Salam kenal.”
Aku merinding dan lekas menarik tangan. Telapaknya... Telapak Kyuhyun mirip sebongkah es batu. Arus dinginnya menginduksi pori-poriku dan membuatnya putih seketika. Benar, tanganku kini memucat.
“Baiklah, aku pergi dulu. Banyak proyek yang mesti kurampungkan. Ingat, buat ratingku naik dengan pertunjukan spektakuler kalian!” pesan Kyuhyun. Seiring langkah kakinya yang semakin menjauh, suhu dingin yang menyelimutiku berangsur lenyap. Hilang. Pergi mengekori siluet tubuh jangkungnya. Memperbesar keyakinanku bahwa memang ada yang tak beres pada diri Kyuhyun.
Cho Kyuhyun, siapa kau sesungguhnya?

**

Jariku menari di tumpukan debu yang menggumpal di kaca jendela. Dari koordinat terujung sebelah kiri, menyisir turun menciptakan sebuah jalur transparan. Lalu kutarik lagi garis ke kanan, kemudian ke atas, melintang, membujur, diagonal, melingkar, dan lain-lain.
Sebenarnya, aku sedang mencoba meluapkan perasaan jenuhku dengan menulis nama Wu Yifan dalam huruf Hanja. Sejak meninggalkan gedung SM, aku tak bisa berhenti memikirkannya. Adegan-adegan di sekolah tadi terus berkecamuk dalam ingatanku. Dadaku kembali bergemuruh.
“Aku tahu kau penggemarku nomor satu, tapi jangan melukisku di sana. Mobil ini masih terlalu baru dan aku tak mau kau merusaknya dengan gambarmu yang sangat payah.” Suara Tao meletus mengacaukan kenangan romantisku bersama Kris.
“Eh? Siapa juga yang menggambarmu?”
“Mengelak? Kau kira aku tak bisa lihat itu seekor panda?”
Aku menatapnya miris. Mungkin inilah akibat dari terlalu berharap menjadi seorang superstar. Pada akhirnya, jika tak kesampaian, kau akan gila sampai tak dapat membedakan antara Hanja dan panda.
“Aku bosan.” Keluhku. Hfft, berpisah dari Kris, Sehun, dan Baekhyun adalah hal terburuk dalam hidupku. Tanpa mereka, tak ada lagi namja-namja seksi yang bisa me-refresh indra visualku. Di kanan-kiri kami hanya terdapat gedung, gedung, dan gedung. Kecepatan mobil yang sangat lambat (80km/jam) juga menjadi faktor yang memperparah rasa penatku.
“Mau ke Sungai Han?”
“Boleh. Biar aku bisa sekalian menceburkanmu!”
“Kau? Menceburkanku? Yakin?”
Wanna try?” tantangku. Tao menanggapinya dengan tawa remehan. Drrt...Drrt... Ponselku bergetar. One message from Xi Luhan. Kusentuh ‘open’.
Kau di mana?
Aku celingukan, tak tahu juga ada di mana. Daritadi kami hanya berputar-putar seperti orang bodoh setelah Tao memutuskan untuk tak terlibat dalam festival SM. “Kita di mana?”
“Di mobil.”
Begok! Kalau itu aku juga tahu. “Maksudku di kawasan mana??!” seruku, nyaris memekik. “Lagipula, bisakah kau berhenti menyetir tak tentu rute? Kau menyebutku absurd tapi kau lebih parah dari itu.”
“Seabsurdnya aku, tak pernah sampai seakut dirimu. Kau itu abstrak, bukan absurd lagi.”
“Apa aku seburuk itu di matamu?”
“Tidak. Tapi lebih buruk.”
“Aissh-” Tao berhasil mencekal tanganku yang siap menarik rambutnya. Tak tahu kenapa, setiap bertengkar dengannya, tanganku secara instingtif akan mengarah ke kepalanya. Menjamah rambutnya, menariknya sekencang-kencangnya sampai ia merintih kesakitan. Itu memberi kepuasan tersendiri bagiku. Dan sepertinya, karena hampir setiap hari kulakukan, Tao terlampau hafal hingga akhirnya membangun sebuah benteng bernama ‘pencekalan’.
Piichara piichara pappaparapa~ Aku terkejut mendengar nada dering yang ditimbulkan smartphone Tao. Itu kan Ending Theme Chibi Maruko Chan! Heh, seleranya kekanakkan sekali. Sangat kontras dengan kepribadian dan mukanya yang sangar.
“Ya, gege? | Eung. | Oke.” Dan percakapanpun selesai. Singkat, padat, dan tidak jelas.
“Apa?” Tao bertanya mendapatiku tengah memandangnya dengan dahi berkerut. Setelah menaruh kembali ponselnya, ia memperbaiki posisi duduknya dan menaikkan kecepatan mobil.
“Kau tadi bertanya kita kemana, kan? Sekarang, pakai sabuk pengamanmu karena kita akan meluncur ke suatu tempat.”
“Sudah kupakai dari tadi!” ketusku kesal. “Wait, apa tadi itu Kris?” intonasiku berubah drastis pada kalimat kedua.
“Hm.”
“Apa Kris ada di tempat yang kita tuju?”
“Hm.”
Awesome! Aku semangat karena akan bertemu belahan jiwaku (lagi).

**

Bunyi bedebam bola basket yang dipantulkan ke lantai berkali-kali mengisi penuh atmosfer gudang bekas pakai yang telah beralihfungsi menjadi lapangan basket. Tiga pemuda berduel memperebutkan bola. Satunya men-dribble. Satunya sibuk menghalangi. Sisanya lagi berusaha merenggut. Tak ada tim Home, tak ada tim Away. Wasit, apalagi. Tiga-tiganya sama-sama bersaing untuk memasukkan bola ke ring lawan. Tidak, mungkin yang lebih tepat ke ring saja. Tak peduli itu ring Timur atau Barat, siapa yang berhasil mencetak poin terbanyak dialah yang juara. Permainan yang konyol.
Lagi, Luhan unggul kesekian kali. Meski lawannya terbilang cukup sulit karena tubuh mereka jauh lebih tinggi, Luhan berhasil membuktikan kalau orang pendek tak lantas kalah begitu saja. Yeah, walaupun, sebenarnya kunci kemenangannya adalah pada pergerakannya. Makhluk seperti kami mempunyai kemampuan bergerak yang hampir menyamai kecepatan cahaya, yakni 299.792.458 meter per detik. Oleh karenanyalah tak sukar bagi Luhan untuk menyelaraskan perpindahannya dengan Tao maupun Kris, apalagi jika hanya menghindari mereka.
“Air?” tawarku saat ketiganya rehat untuk sejenak. Hanya Kris yang menggubris, sedang Luhan dan Tao lanjut bermain. Sementara aku, bukan tak tertarik atau tak bisa bermain basket, malah saking lihainya sampai Tao menyuruhku out setelah timnya terus-menerus kalah akibat dibantai olehku. Dasar curang. Walau begitu aku tetap saja menurut dan malah berbaik hati membelikan mereka minuman, hanya karena aku tak mau nantinya Kris dehidrasi karena kekurangan air, hehe.
Kris mulai berjalan ke arahku. Tubuhnya yang tinggi semampai itu begitu mengesankan. Seakan belum cukup membuat jantungku hampir meledak tadi pagi, dia kembali membuat adrenalinku berpacu di setiap langkahnya yang semakin dekat. Kupandang ia lamat-lamat. Sorot mata sensual, rambut basah berantakan, dan tubuh tegapnya yang hanya dibalut v-neck shirt longgar warna hitam itu memperlihatkan leher jenjang dan lekukan tulang selangkanya yang seksi. Ia semakin nampak menggoda dengan tubuhnya yang basah bermandi keringat. Damn!! Aku terangsang. Hasratku sudah mencapai titik klimaks dan tak bisa menahan lebih lama lagi.
“Kau sudah gila??!!!”
Luhan dengan telepatinya meneriakiku. Entah bagaimana, tiba-tiba tanganku sudah merengkuh tubuh Kris dan membuat wajah kami begitu dekat. Gigi taringku juga telah siap tumbuh dan nyaris akan membocori pembuluh darahnya. Oh, apa yang kulakukan?
“Huang Zi You!”
Di seberang, Tao berdiri dengan ekspresi yang rumit dijelaskan.

**

TBC

Selasa, 11 Maret 2014

When I Fall~

Saat aku jatuh cinta, tidak mudah bagiku untuk mengatakan bahwa aku jatuh cinta. Aku bukan seseorang yang dengan mudahnya menyatakan “aku mencintaimu” atau “aku merindukanmu”. Sulit untukku memberi hati ini ke orang lain, kecuali aku benar-benar yakin bahwa perasaan ini pada akhirnya benar~

Saat aku jatuh cinta, aku akan menjadi gadis yang aneh sekali. Setiap berpapasan atau bertemu dengannya, tiba-tiba aku menjadi sangat malu dan tak mampu menatapnya. Perasaan ini membuncah-buncah tak karuan. Sesuatu yang hangat mengalir di dalam sana menjadikan temperatur tubuhku naik hingga mencapai titik maksimum. Akibatnya, lidahku kelu dan seluruhku kaku. Dadaku bergemuruh berdebar-debar, hingga untuk tersenyumpun sulit. Ahh >///< Namun di situasi biasa, aku menjadi periang lagi dan memandangnya dari kejauhan tanpa ia sadari.

Saat aku jatuh cinta, aku betah berlama-lama menyendiri sambil mendengarkan lagu yang menggambarkan perasaanku saat ini. Aku akan selalu menyenandungkannya dan tak pernah bosan walau kuputar sampai ratusan kali dalam sehari.

Saat aku jatuh cinta, aku semangat sekali pergi ke sekolah! Seolah, kedatanganku semata-mata hanya untuk menemuinya. Melihatnya, walau secara diam-diam dari kejauhan sudah membuatku bahagia. Ya, mengingat cintaku hampir selalu cinta sepihak di awalnya, aku selalu bersemangat untuk ‘mengejar’ orang yang kusuka. Meskipun rasa ini kupendam seorang diri, semua orang tahu karena sikapku yang begitu kentara di hadapannya. Tapi mengapa hanya dia yang tidak tahu? Tidak peka? Tidak mengerti? Kenapa? T.T

Saat aku jatuh cinta, hatiku tidak tenteram. Wajah dan suaranya terus terbayang di benakku. Aku tidak bisa makan dan tidur dengan tenang. Aku selalu cemas terlihat jelek di hadapannya. Ketika akan menghadiri suatu event yang ada dianya, aku bisa berjam-jam menghabiskan waktu di kamar hanya untuk memilih pakaian dan menata rambut. Setiap hari, aku selalu berharap dia mengirimiku pesan. Jika aku yang duluan sms, aku tak dapat mengalihkan pandang barang sejenak dari layar handphone sambil berharap-harap cemas semoga dia membalasnya. Dan bila dia membalasnya, meskipun itu hanya ‘ya’ atau ‘oh’ aku sudah senang bukan main :D

Saat aku jatuh cinta, aku bisa melakukan apapun demi dirinya. Aku ingin sempurna di matanya. Hal-hal yang dulunya berat dan malas kulakukan seperti berolahraga maupun diet menjadi lebih mudah begitu aku mempunyai perasaan ini. Aku malu setiap wajah dan suaranya muncul di benakku. I’ll do better, sure I am!

Saat aku jatuh cinta, aku akan mencari tahu segala hal tentang orang yang kusuka. Mulai dari profil pribadi sampai kesukaan dan sesuatu yang tidak disukainya. Kadang, otomatis aku ikut menyukai hal-hal favoritnya dan menjauhi segala hal yang dia benci.

Saat aku jatuh cinta, sulit bagiku untuk berhenti. Tak mudah untuk ‘jatuh’ dan tenggelam dalam perasaan ini, tak mudah pula keluar dan melupakan begitu saja. Butuh waktu yang sangat lama untukku menghapus rasa suka ini, hingga aku kembali ‘jatuh’ atau setidaknya, menunggu perasaan ini benar-benar pudar.

Saat aku jatuh cinta...

Aku sungguh-sungguh cinta. Bukan sekedar tertarik pada penampilan fisik atau kelebihannya saja. Oleh karenanyalah aku tak pernah percaya dengan ‘cinta pada pandangan pertama’. Menurutku, orang yang mengaku mencintai seseorang sejak pandangan pertama adalah bullshit. Bukankah berarti mereka hanya menyukai fisik orang itu saja? Bukankah berarti perasaan mereka tidak tulus? Perasaan seperti itu tak akan pernah bertahan lama. Semakin waktu berlalu fisik seseorang tentu berubah. Jika begitu, apakah perasaan itu juga berubah?

Saat aku jatuh cinta, jangan tanya padaku mengapa aku menyukainya. Aku tak akan menjawab karena ia begini atau begitu, namun pertanyaan itu justru membuatku kebingungan. Bagiku, mencintai seseorang tak butuh alasan. Ketika hatiku memilihnya, maka ku tak dapat mengelak. Aku tak pernah mengerti kenapa, apa, dan bagaimana~ It’s confused. This not simple as it seems, but it’s really complicated. When you find a hole to someone’s heart, be careful! You might fall and can’t go out from there. You’ll see nothing in dark maze, just little bit of light named love will figure you in, or out.

And, lemme deliver my grateful for have this great feeling because of him, a guy who caught my eyes and make me falling so deep in his heart :D
C.L.

Jumat, 14 Februari 2014

Unknown Bohemian [Part III]


Unknown Bohemian—Part 3

Fanfiction by Jiyeonichi29 (@Alvia Rachmanda)

Genre: Fantasy, Romance, Family, campur-campur :D

Rating: 15

Main Cast: Huang Zi You (as you), Huang Zitao (EXO-M), Wuyifan/ Kris (EXO-M), Do Hana (OC)

___

Normal POV
Lamborghini Kris datang menepi dan berhenti di pinggir lapangan golf keluarga Huang yang luasnya berhektar-hektar. Ia dan Hana turun, menyapu seluruh pemandangan di depan mereka untuk memastikan kalau si pemilik lapangan juga berada di sana.
“Awaaasss!”
Peringatan terlambat yang dideklarasikan You tepat setelah bola golf yang dipukulnya tak sengaja menghantam Hana. Gadis itu tumbang seraya memegangi dahinya yang dirasa langsung memar.
“Kau tak apa?”
Kris membantunya berdiri. Kaget juga melihat bola golf tiba-tiba melayang dari jarak sejauh itu.
Unnie, kau baik-baik saja? Maaf! A-aku tak sengaja.” sesal You. Kris semakin kaget lantaran You sudah berada di dekat mereka.
I’m fine.” senyum Hana.
Di belakang, Sehun dan Kai lari terengah-engah. “Noona, dahimu!” tunjuk Kai panik.
Beruntung Tao segera menyusul membawa kotak P3K. Tanpa menunggu komando siapapun dengan cekatan Kai mengobati memar Hana. Tak kurang dari lima belas menit dahi Hana sudah berbalut perban.
“Kau tak perlu sampai memerban kepalaku begini.” protes Hana. “Bagaimanapun juga, terimakasih.”
Noona, lain kali kau harus lebih hati-hati.” nasihat Kai.
“Aku tahu. Unnie, sekali lagi aku minta maaf~” You tertunduk bersalah.
“Tak apa. Ini hanya kecelakaan kecil, kok!” Hana tersenyum semanis mungkin, membuat Kai semakin tak dapat melepaskan perhatian darinya.
Sehun mengambil giliran pertama untuk bermain. Jarak pukulannya kelebihan beberapa yard dari hole. Meski begitu, ia sudah senang tak karuan sampai perlu berjoget ria di tengah lapangan. Maklum saja, dulu Sehun seorang lead dancer di sekolah. Selanjutnya giliran Tao.
You menunggu gilirannya sambil mencuri-curi pandang ke arah Kris. Sesuatu yang sama lagi-lagi terjadi. Kali ini, jantungnya yang meletup-letup seperti gunung hendak meletus. Saat ini posisinya dan Kris hanya berjarak seorang Hana, tapi bukan berarti ia bisa puas mengekspos pemandangan menyenangkan itu meski ia—sangat—mau.
Apalagi, saat Hana melenyapkan batas antara ia dan pemuda jangkung itu.
DEG! Aroma thyme menyeruak dalam ke indra penciumannya. Kris menoleh, memperlihatkan proporsi wajah menawannya secara sempurna. Mata You membulat ketika Kris memergoki tengah memperhatikannya.
‘Sial!’
What’s wrong?” tanya Kris dengan logat Vancouver yang sangat kental. Benar-benar memanipulasi bila ia seorang Mandarin.
‘Sial! Sial! Aku harus merespon apa?' batin You, masih terpaku di tempat.
“A-aku...”
“Hoi, You! Giliranmu!” pekik Tao dari jauh. Setengah kikuk, You mengalihkan pandangnya dari Kris.
Ia bersyukur dalam hati. Panggilan Tao kali ini benar-benar menyelamatkannya. Jika saja tidak, mungkin ia akan berakhir seperti mammoth yang membeku dalam bongkahan es.
“Aku datang~!”

*

Luhan’s POV
Benda putih itu menggelinding dan berhenti tepat di kakiku. Aku meraih lalu mengendusnya, merasa sangat familiar dengan aromanya. Dan benar saja, ketika aku mencapai puncak pohon dari kejauhan kulihat beberapa manusia sedang bermain. Salah satunya, vampire.
Gadis yang menjadi alasan tentang keberadaanku di sini—Seoul—berjalan (atau berlari?) mencari bola yang sukses dihilangkannya.
“Mencari ini?”
Seketika iris mata gadis itu berubah warna. Setelah melihatku, warna matanya kembali seperti manusia normal.
“Luhan, kenapa kau di sini?”
Aku melempar bola itu padanya. “Ibumu mengirimku kemari untuk mengawasimu.”
“Yang benar saja! Aku bukan anak-anak lagi. Kau pulang saja sana sebelum ‘keluargaku’ melihatmu!”
Ck, gadis ini ==’ dia mirip sekali dengan ibunya yang gemar menyuruh-nyuruh orang. “Mulai saat ini aku juga akan tinggal di Seoul. Tenang saja, aku tak akan mengusik kebersamaanmu dengan manusia-manusia itu. Lagian aku punya misi lain kok!”
“Misi? Misi apa?”
Noona, kenapa lama seka—”
Suara manusia itu tercekat waktu melihatku. Dia memandang You dan aku bergantian.

*

Tao’s POV
Dia itu mengambil bola di Antartika ya? Atau sudah tenggelam duluan di samudra Arktik? Sudah hampir seabad kami menungguinya. Lagipula ini salah couple konyol itu, mau main golf tapi stock bolanya ditinggal. Beruntung kami menemukan satu bola di tas peralatan.
Akhirnya, tubuh gadis yang terpaksa kuakui sebagai ‘adik’ itu menyembul bersama namja berkulit eksotis di sampingnya. Tunggu, siapa pria yang bersama mereka?
“Kenalkan, dia sepupuku dari Forks. Dia juga ABC (American Born Chinese) dan dulunya pernah menetap di Seoul. Alumni SKY. Panggil saja Luhan.”
Aku menatapnya dari ujung rambut hingga kaki. Sama sekali tak mirip You. Hanya kulit pucatnya saja yang mengingatkanku pada yeoja itu. But, SKY? Wah, hebat! Tapi kenapa sepupunya justru begitu lamban dan bodoh?
Annyeong, Xi Luhan imnida.” Ia membungkuk, menyapa kami semua dengan bahasa Korea yang sangat fasih. Hmm, satu lagi keturunan Chinese di kelompok kami.

**

Flash of memories.
Aku merenung, menatap titik-titik air yang jatuh di hadapanku. Kutengadahkan tangan, membiarkan cairan bening itu mengaliri sela-sela jariku. Hujan masih terlalu deras sementara aku tak membawa payung.
Oppa!”
Suara itu, kelewat familiar untukku. Bagaimana tidak? Setiap hari, setiap jam, setiap menit atau mungkin setiap detik aku selalu bersama pemiliknya. Seperti sekarang, terjebak hujanpun harus bersamanya. Seolah dia lahir di dunia ini hanya untuk mengikuti dan memberisiki hidupku seorang. Andai saja ada hari dimana aku bisa terbebas darinya. Bahkan walau hanya sehari saja!
“Hmm?” responku malas.
“Ayo pulang! Perutku sudah keroncongan.”
“Kau tak lihat masih hujan?”
“Tapi aku lapar. Kita pulang hujan-hujanan saja, bagaimana?”
Aku langsung berdiri dan berbalik menghadapnya. Gadis berkepang satu yang mengenakan seragam sama denganku itu bersandar malas pada dinding pabrik bekas yang menjadi tempat kami berteduh setelah hujan tiba-tiba turun saat kami tengah mengayuh sepeda pulang.
“Dan membiarkan kau demam lantas ibu akan memarahiku habis-habisan? Jangan harap!” tukasku.
“Berarti kau lebih memilih ibu menguburmu hidup-hidup karena telah membiarkan adikmu mati kelaparan?”
“Ya ampun, kau tak akan mati hanya karena melewatkan makan siang!”
“Tapi aku lapar! LAPAR! L-A-P-A-R, AKU LAP—”
Cepat-cepat aku membekap mulut bocah itu meski telapak tangan yang sama masih berbalut perban akibat digigit olehnya kurang lebih seminggu lalu. Waktu itu aku melakukan hal serupa karena ia ingin mengadukan ‘sesuatu’ pada ibu, tapi dia malah menggigit tanganku sampai berdarah. Dan sekarang aku mengulanginya bukan karena tertantang untuk digigit lagi, tapi karena aku tak betah bila harus mendengar teriakannya yang bak bunyi petasan meletup-letup di panci           !
“Kita akan makan, okay? Tapi setelah hujannya reda.”
“%$#*&!??”
“Apa? Aku tak bisa mendengarmu!”
“Bagaimana kau bisa mendengar jika kau membekapku? Bodoh!” cercanya setelah menggigit—kali ini jempolku.
“Kau itu manusia atau vampire heh? Kenapa hobimu menggigiti orang!!??”
You hanya mendengus dan berjalan ke tepi pabrik, kepalanya mendongak memandang hujan. Ditengadahkan tangannya sehingga air itu penuh menggenangi, lalu tiba-tiba...
Yaak!!
Ia tertawa renyah setelah sukses membasahi mukaku dengan air yang baru ditampungnya. Oh, jadi kau ingin main ciprat-cipratan denganku? Baiklah, oppa-mu yang tampan dan baik hati ini akan dengan senang hati meladeni!
Lima belas menit kami habiskan dengan menyirami satu sama lain memanfaatkan air yang turun cuma-cuma dari langit. Permainan yang seharusnya mengasyikkan bila kumainkan dengan anak-anak normal itu berakhir saat kusadar kalau tubuhku sudah basah kuyup akibat diguyur habis-habisan oleh You, bocah yang baru kuingat kalau dia itu abnormal.
Oh, mom will kill us!!” jeritku pasrah membayangkan reaksi ibu ketika kami sampai rumah. Seragam You juga tak kalah basah dari punyaku. Melihat kami begini tentu saja ibu akan langsung menuduh kami hujan-hujanan.
“Ya sudah, kita pulang saja!” ajakku akhirnya.
“Tapi kan masih hujan?”
“Apa bedanya? Toh kita juga sudah basah! Memang kau mau menunggu hujan reda dengan pakaian begitu? Yang ada kau justru masuk angin!”
You pun mengikuti instruksiku untuk pulang bersepeda. Jalan yang kami lewati sudah cukup ekstrem tanpa perlu diguyur hujan. Dan kini, hujan membuat pematang sawah yang menjadi jalur alternatif kami untuk pergi-pulang sekolah itu makin licin hingga kami harus ekstra hati-hati.
Brukk!!!
Aku berhenti mengayuh dan menengok ke belakang. You jatuh tersungkur bersama sepedanya ke sepetak sawah yang entah milik siapa. Aku buru-buru menolongnya.
Gwenchana?” tanyaku panik. Tambah panik lagi begitu melihat lututnya berdarah akibat tergores pedal sepeda.
“Kakiku sakit sekali oppa! Eh, apa ini?” You kaget menemukan darah mengalir dari lututnya. Ia menyentuh cairan pekat itu menggunakan jari dan terkesan. Entah terkesan karena baru pertama kali melihat darah—tak mungkin—atau karena ini kali pertamanya mendapat luka.
Tanpa pikir panjang langsung saja kusobek lengan seragamku dan menggunakannya untuk menutup luka You. Setelah itu, aku menggendongnya pulang dan meninggalkan sepeda kami begitu saja. Yah, mau bagaimana lagi? Tak mungkin aku membiarkan You mengendarai sepeda lagi dan tersungkur untuk kedua kali, atau tak mungkin juga memboncengnya karena baik sepedaku maupun sepedanya tak punya tempat duduk ganda.
Oppa, tidak apa-apa kau membawaku sampai rumah? Memang aku tak berat, ya?”
“Tentu saja berat! Apa yang kau makan sih? Tubuhmu saja kecil tapi beratmu luar biasa” ketusku.
Yak! Kenapa bicara begitu?” You memukul kepalaku. Dasar anak ini, kutinggalkan dia sendirian baru tahu rasa ==’ “Aku kan juga wanita, dan wanita itu sangat sensitif, tahu! Seharusnya kau berbohong saja dengan mengatakan tidak apa, kau sama sekali tak berat kok atau ini sudah menjadi tugasku, mengapa aku harus keberatan bukannya bicara blak-blakan begitu!”
“Dasar. Kau fikir mudah menggendong orang sambil kehujanan begini?”
“Tentu saja, kau kan Master Kungfu!”
“CK. Tunggu sampai aku yang jatuh dan giliranmu membopongku.”
“Hmm, kurasa aku hanya akan menertawaimu dan meninggalkanmu saja. HAHAHA!”
“Ya sudah, jika begitu kau tak keberatan kalau kuturunkan di tengah jalan sekarang?”
“Eh yang benar saja! Masa kau tega melihatku pulang tertatih-tatih tak berdaya? Mana rasa kemanusiaanmu terlebih sebagai oppa-ku?” You langsung berontak.
Giliranku yang terkekeh jahil. “Makanya, jangan asal kalau bicara-”
Langkahku terhenti begitu kami tiba di pangkal jalan raya. Sebuah van hitam menampakkan wujud wanita paruh baya yang tak asing lagi. Meng Jia, ibu kami. Ibu keluar memanggil nama You sambil berurai air mata. You turun dari punggungku dan ibu langsung mendekapnya. Pria berjas yang duduk di sampingnya tadi, Tony Huang—ayahku—ikut keluar memayungi keduanya. Dia menatapku nanar dengan raut wajah berduka.
Aku yang melihat pemandangan itu hanya bisa menerka-nerka apa yang sekiranya sedang terjadi. Apakah ibu mencemaskan You yang tak kunjung pulang? Tapi mengapa sampai berlebihan begitu, bahkan ikut membawa-bawa ayah yang harusnya masih berada di perusahaan saat ini?
Dan tahulah aku yang sebenarnya terjadi saat kami tiba di rumah. Persoalan orang dewasa yang begitu rumit bagi bocah ingusan yang masih duduk di bangku SMP sepertiku. Yang benar-benar kupahami hanyalah:
You pergi meninggalkan keluarga Huang untuk waktu yang sangat lama bersama sepasang pria dan wanita tak dikenal.
Oppaaa!
Kulihat wajah sendu You yang banjir air mata dari kaca belakang mobil. Aku lari menerobos hujan untuk mengejar mereka—mengejar You, adikku satu-satunya.
“You! Huang Zi You!!!”
Namun, apa daya tubuhku yang kecil ini tak akan mampu mengejar sedan yang ‘menculik’ adikku itu. Merengek pada ayah ibu pun percuma, mereka hanya bisa meratapi kepergian You.
You, gadis itu. Aku tak percaya dia tak lagi menjadi bagian dari Huang family. Ternyata aku salah memunajatkan doa. Yang kuingini bukanlah dia pergi dan menghilang dari hidupku selamanya. Bukan begitu! Bukan seperti itu, You!
Kumohon, jangan pergi.
Jangan menciptakan keheningan dengan berhenti meracau di sisiku.
Jangan pergi.
Kembalilah dan repoti aku dengan segala permintaan absurdmu.
Jangan pergi.
Aku bilang jangan, Huang Zi You!!!
.

.

.
Andwae!!”
Kutemukan diri terduduk di atas bed dengan peluh membasahi. Oh sial, lagi-lagi mimpi itu. Kenapa kenangan itu masih terus saja menghantuiku? Kuacak rambutku. Weker di samping menunjukan pukul 7:15. Segera kubangkit untuk membersihkan diri.
“Tao, mana adikmu?” suara ibu menyapa lembut gendang telingaku ketika aku turun ke ruang makan.
“Mungkin dia masih molor.” jawabku asal setelah mencomot waffle cokelat di piring. Wait, memangnya anak itu tidur? “Akan kupanggil dia untuk sarapan.”
Aku bergegas naik ke lantai dua, ke kamar You. Clek! “You-ya—”
Oppa!!!”
Buru-buru kututup kembali pintu kamarnya setelah dia mengotori mata polosku ini *lie* dengan pemandangan vulgar di dalam sana. Seharusnya dia mengunci pintu atau memasang peringatan jika sedang berpakaian seperti tadi. Dasar ceroboh.
“Ada apa?” mukanya menyapaku dengan ekspresi datar setelah membuka pintu.
“Berapa kali kubilang untuk mengunci pintu kalau sedang ganti baju!? Kau itu perempuan! Seandainya yang masuk tadi orang lain bagaimana?! Kau mau tubuhmu dilihat oleh orang yang tak pantas mendapatnya??” gerutuku.
“Ck. Kau yang salah tidak mengetuk dulu. Menyeleweng masuk seenaknya, jangan-jangan malam pun begitu?” tuduh You.
“Enak saja! Untuk apa aku melakukannya?”
Who knows?
Aku bergemeletuk. “Jangan ulangi lagi. Sebagai wanita kau harus jaga kehormatanmu.”
“Heh~Iyakan saja. Aku tahu dalam hati kau bersyukur.” gumam You tak jelas.
“Aku dengar kau bilang apa. Kau fikir aku pervert, begitu?!” kucubit pipi chubby-nya sampai ia meronta kesakitan. ‘Penyiksaan’ itu baru berhenti kulakukan setelah pesan masuk dari Kai.
Hyung, kami sudah di SM.
Tak lama kemudian kuketik balasan, ‘We’ll be there soon.
“Cepat, Kai dan lainnya sudah menunggu. Kau ikut tidak?”
“Ikut? Kemana?”

**

TBC